Translate

Kamis, 15 Agustus 2013


JUDUL : KESEDIHAN DIPENGHUJUNG RAMADHAN
HARI/TANGGAL : RABU, 07 AGUSTUS 2013
MUSHOLA : AL -AMIN
PENCERAMAH : M. SAFI'I
 
 KESEDIHAN DI PENGHUJUNG RAMADHAN

Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di penghujung Ramadhan, yang artinya tinggal beberapa hari lagi bulan suci ini akan pergi. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita, sebagian mereka bahkan mulai disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri. Luapan kegembiraan sudah terasa. Lalu lintas lambat merayap. Banyak rumah berganti cat. Baju baru dan makanan enak juga telah siap.
Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih. Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita miliki di masa modern ini.

Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan hampir berakhir? 
Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai konteks sebab.
Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari Ramadhan akan pergi, sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula berbagai keutamaannya.
Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada dalam puncak kebaikan, Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu… (HR. Ahmad)

Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada batasan?
Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi. Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah  bahwa semestinya Ramadhan menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan, namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat rugi. Bahkan celaka.

Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani) Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf (takut) para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima, dengan berdoa :
Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui
Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam bulan berturut-turut setelah Ramdhan, agar amal-amal di bulan Ramadhan mereka diterima Allah . Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.

Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti dikemukakan di atas, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beri’tikaf di masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.
Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di waktu malam.
Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di masjid-Nya, bertaqarrub (mendekatkan diri) dalam khusyu’nya shalat, tilawah, dzikir, dan munajat. Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan. Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita.

Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar, jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita evaluasi ibadah lainnya selama 28 hari ini. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu seperti para sahabat dan salafus shalih itu. Namun jangan sampai kita kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa beri’tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya.

Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah  jika telah masuk sepuluh terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)

Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada beberapa sebab utama:
Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau akhirnya. Rasulullah  berdoa:

“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak.”

Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih mengakhiri hidupnya dengan kejelekan. Na’udzubillahi min dzalik
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.

Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar.
Patut kita renungkan: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya).”
 Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan dengan ketaatan dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua bersamaan berlalunya Ramadhan.
Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah Azza wa Jalla cinta agar manusia taat sepanjang zaman, sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang waktu. Dan karena kita ingin mengambil bekal sebanyak mungkin di satu bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.

Hal yang juga disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya diakhir-akhir bulan Ramadhan adalah mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana dalam riwayat Bukhari Muslim dari Abdullan bin Mas’ud:
"Sesungguhnya Rasulullah saw mewajibkan zakat fithrah pada bulan Ramadhan kepada manusia berupa satu sho’ kurma, atau satu sho’ gandum, baik orang yang merdeka, budak laki-laki atau perempuan". Dalam hadis yang lain juga disebutkan Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat fithrah sebagai penyucian bagi yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan keji, dan makanan untuk orang miskin, barang siapa yang menunaikannya sebelum shalat ‘Ied maka itulah shadaqah (zakat fithrah) yang diterima, dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah shadaqah dari macam-macam shadaqah".

Berdasarkan hadits ini jelas kiranya, bahwa yang berhak menerima zakat fithrah adalah orang-orang miskin,dan dikeluarkan sebelum sholat ‘Idul Fitri, dalam lebih baik berupa bahan makanan (beras) karena Rasulullah saw mewajibkan zakat berupa makanan.
Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat, namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita selama 27 hari ini diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih sungguh-sungguh kepada Allah Azza wa Jalla.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar