JUDUL : KESEDIHAN DIPENGHUJUNG RAMADHAN
HARI/TANGGAL : RABU, 07 AGUSTUS 2013
MUSHOLA : AL -AMIN
PENCERAMAH : M. SAFI'I
KESEDIHAN DI PENGHUJUNG RAMADHAN
Waktu seperti begitu cepat berlalu. Kita kini telah berada di
penghujung Ramadhan, yang artinya tinggal beberapa hari lagi bulan suci
ini akan pergi. Kalau kita perhatikan masyarakat di sekeliling kita,
sebagian mereka bahkan mulai disibukkan dengan hiruk pikuk Idul Fitri.
Luapan kegembiraan sudah terasa. Lalu lintas
lambat merayap. Banyak rumah berganti cat. Baju baru dan makanan enak
juga telah siap.
Jika demikian gempitanya masyarakat kita berbahagia di penghujung
akhir Ramadhan, tidak demikian dengan para sahabat dan salafus shalih.
Semakin dekat dengan akhir Ramadhan, kesedihan justru menggelayuti
generasi terbaik itu. Tentu saja kalau tiba hari raya Idul Fitri mereka
juga bergembira karena Id adalah hari kegembiraan. Namun di akhir
Ramadhan seperti ini, ada nuansa kesedihan yang sepertinya tidak kita
miliki di masa modern ini.
Mengapa para sahabat dan orang-orang shalih bersedih ketika Ramadhan
hampir berakhir?
Kita bisa menangkap alasan kesedihan itu dalam berbagai
konteks sebab.
Pertama, patutlah orang-orang beriman bersedih ketika menyadari
Ramadhan akan pergi, sebab dengan perginya bulan suci itu, pergi pula
berbagai keutamaannya.
Bukankah Ramadhan bulan yang paling berkah, yang pintu-pintu surga
dibuka dan pintu neraka ditutup? Bukankah hanya di bulan suci ini syetan
dibelenggu? Maka kemudian ibadah terasa ringan dan kaum muslimin berada
dalam puncak kebaikan, Telah datang kepada kalian bulan yang penuh berkah, diwajibkan kepada
kalian ibadah puasa, dibukakan pintu-pintu surga dan ditutuplah
pintu-pintu neraka serta para syetan dibelenggu… (HR. Ahmad)
Bukankah hanya di bulan Ramadhan amal sunnah diganjar pahala amal
wajib, dan seluruh pahala kebajikan dilipatgandakan hingga tiada
batasan?
Semua keutamaan itu takkan bisa ditemui lagi ketika Ramadhan pergi.
Ia hanya akan datang pada bulan Ramadhan setahun lagi. Padahal tiada
yang dapat memastikan apakah seseorang masih hidup dan sehat pada
Ramadhan yang akan datang. Maka pantaslah jika para sahabat dan
orang-orang shalih bersedih, bahkan menangis mendapati Ramadhan akan
pergi.
Kedua, adalah peringatan dari Rasulullah bahwa semestinya Ramadhan
menjadikan seseorang diampuni dosanya. Jika seseorang sudah mendapati
Ramadhan, sebulan bersama dengan peluang besar yang penuh keutamaan,
namun masih saja belum mendapatkan ampunan, benar-benar orang itu sangat
rugi. Bahkan celaka.
Celakalah seorang yang memasuki bulan Ramadhan namun dia tidak diampuni (HR. Hakim dan Thabrani) Masalahnya adalah, apakah seseorang bisa menjamin bahwa dirinya
mendapatkan ampunan itu. Sementara jika ia tidak dapat ampunan, ia
celaka. Betapa hal yang tidak dapat dipastikan ini menyentuh rasa khauf
(takut) para sahabat dan orang-orang shalih. Mereka takut sekiranya
menjadi orang yang celaka karena tidak mendapatkan ampunan, padahal
Ramadhan akan segera pergi. Maka mereka pun menangis, meluapkan
ketakutannya kepada Allah seraya bermunajat agar amal-amalnya diterima,
dengan berdoa :
Wahai Rabb kami… terimalah puasa kami, shalat kami, ruku’ kami, sujud
kami dan tilawah kami. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar lagi Maha
Mengetahui
Para sahabat dan orang-orang shalih bukan hanya berdoa di akhir
Ramadhan. Bahkan, konon, rasa khauf membuat mereka berdoa selama enam
bulan berturut-turut setelah Ramdhan, agar amal-amal di bulan Ramadhan
mereka diterima Allah . Lalu enam bulan setelahnya mereka berdoa agar
dipertemukan dengan Ramadhan berikutnya.
Perbedaan tashawur (paradigma, persepsi) dalam memandang akhir
Ramadhan itulah yang kemudian membawa perbedaan sikap antara generasi
sahabat dan generasi kita saat ini. Jika sebagian masyarakat, seperti
dikemukakan di atas, asyik berbelanja menyambut Idul Fitri, para sahabat
asyik beri’tikaf di sepuluh hari terakhir. Maka bisa kita bayangkan
bahwa Madinah di era Rasulullah di sepuluh hari terakhir Ramadhan
layaknya seperti kota setengah mati. Sebab para lelaki beri’tikaf di
masjid-masjid. Bahkan begitu pula sebagian para wanitanya.
Jika kita sibuk menyiapkan kue lebaran, para sahabat dan salafus
shalih sibuk memenuhi makanan ruhaninya dengan mengencangkan ikat
pinggang, bersungguh-sungguh beribadah sepanjang siang, terlebih lagi di
waktu malam.
Jika kita mengalokasikan banyak uang dan waktu untuk membeli pakaian
baru, para sahabat dan salafus shalih menghabiskan waktu mereka dengan
pakaian taqwa. Dengan pakaian taqwa itu mereka menghadap Allah di
masjid-Nya, bertaqarrub (mendekatkan diri) dalam khusyu’nya shalat,
tilawah, dzikir, dan munajat. Masih ada waktu bagi kita sebelum Ramadhan pergi. Masih ada
kesempatan bagi kita untuk mengubah tashawur tentang akhir Ramadhan.
Maka beberapa hari ke depan bisa kita perbaiki sikap kita.
Pertama, kita lihat lagi target Ramadhan yang telah kita tetapkan
sebelumnya. Mungkin target tilawah kita. Masih ada waktu untuk mengejar,
jika seandainya kita masih jauh dari target itu. Demikian pula kita
evaluasi ibadah lainnya selama 28 hari ini. Lalu kita perbaiki.
Kedua, kita lebih bersungguh-sungguh memanfaatkan Ramadhan yang
tersisa sedikit ini. Mungkin kita tak bisa beri’tikaf penuh waktu
seperti para sahabat dan salafus shalih itu. Namun jangan sampai kita
kehilangan malam-malam terakhir Ramadhan tanpa qiyamullail, tanpa
beri’tikaf –lama atau sebentar- di masjid-Nya.
Dari Aisyah RA berkata: “Rasulullah jika telah masuk sepuluh
terakhir bulan Ramadhan menghidupkan malam, membangunkan keluarganya dan
mengencangkan ikat pinggang”. (Muttafaq ‘alaih)
Apa rahasia perhatian lebih beliau terhadap sepuluh hari terakhir Ramadhan? Paling tidak ada beberapa sebab utama:
Sebab pertama, karena sepuluh terakhir ini merupakan penutupan bulan
Ramadhan, sedangkan amal perbuatan itu tergantung pada penutupannya atau
akhirnya. Rasulullah berdoa:
“Ya Allah, jadikan sebaik-baik umurku adalah penghujungnya. Dan
jadikan sebaik-baik amalku adalah pamungkasnya. Dan jadikan sebaik-baik
hari-hariku adalah hari di mana saya berjumpa dengan-Mu Kelak.”
Jadi, yang penting adalah hendaknya setiap manusia mengakhiri
hidupnya atau perbuatannya dengan kebaikan. Karena boleh jadi ada orang
yang jejak hidupnya melakukan sebagian kebaikan, namun ia memilih
mengakhiri hidupnya dengan kejelekan. Na’udzubillahi min dzalik
Sepuluh akhir Ramadhan merupakan pamungkas bulan ini, sehingga
hendaknya setiap manusia mengakhiri Ramadhan dengan kebaikan, yaitu
dengan mencurahkan daya dan upaya untuk meningkatkan amaliyah ibadah di
sepanjang sepuluh hari akhir Ramadhan ini.
Sebab kedua, karena dalam sepuluh hari terakhir Ramadhan merupakan turunnya lailatul qadar.
Patut kita renungkan: “Laa takuunuu Ramadhaniyyan, walaakin kuunuu
Rabbaniyyan. Janganlah kita menjadi hamba Ramadhan, tapi jadilah hamba
yang Rabbaniyah (hamba Allah yang sesungguhnya).”
Karena ada sebagian manusia yang menyibukkan diri di bulan Ramadhan
dengan ketaatan dan qiraatul Qur’an, kemudian ia meninggalkan itu semua
bersamaan berlalunya Ramadhan.
Kami katakan kepadanya: “Barangsiapa menyembah Ramadhan, maka
Ramadhan telah mati. Namun barangsiapa yang menyembah Allah, maka Allah
tetap hidup dan tidak akan pernah mati.”
Allah Azza wa Jalla cinta agar manusia taat sepanjang zaman,
sebagaimana Allah murka terhadap orang yang bermaksiat di sepanjang
waktu. Dan karena kita ingin mengambil bekal sebanyak mungkin di satu
bulan ini, untuk mengarungi sebelas bulan berikutnya.
Hal yang juga disyariatkan oleh Allah dan Rasul-Nya diakhir-akhir
bulan Ramadhan adalah mengeluarkan zakat fitrah sebagaimana dalam
riwayat Bukhari Muslim dari Abdullan bin Mas’ud:
"Sesungguhnya Rasulullah saw mewajibkan zakat fithrah pada bulan
Ramadhan kepada manusia berupa satu sho’ kurma, atau satu sho’ gandum,
baik orang yang merdeka, budak laki-laki atau perempuan". Dalam hadis yang lain juga disebutkan Dari Ibnu Abbas berkata: Rasulullah saw telah mewajibkan zakat
fithrah sebagai penyucian bagi yang berpuasa dari perkataan sia-sia dan
keji, dan makanan untuk orang miskin, barang siapa yang menunaikannya
sebelum shalat ‘Ied maka itulah shadaqah (zakat fithrah) yang diterima,
dan barang siapa yang menunaikannya setelah shalat maka dia adalah
shadaqah dari macam-macam shadaqah".
Berdasarkan hadits ini jelas kiranya, bahwa yang berhak menerima
zakat fithrah adalah orang-orang miskin,dan dikeluarkan sebelum sholat
‘Idul Fitri, dalam lebih baik berupa bahan makanan (beras) karena
Rasulullah saw mewajibkan zakat berupa makanan.
Kita mungkin tidak bisa bersedih dan menangis sehebat para sahabat,
namun selayaknya kita pun takut sebab tak ada jaminan apakah amal kita
selama 27 hari ini diterima, begitu pula tak ada jaminan apakah kita
dipertemukan dengan Ramadhan tahun berikutnya. Lalu kita pun kemudian
memperbaiki dan meningkatkan amal ibadah serta berdoa lebih
sungguh-sungguh kepada Allah Azza wa Jalla.